Dua Tulisan Yang Menampar PB HMI (MPO)
Tulisan Pertama Menyadarkan PB HMI
Oleh Akbar*
OPINI, EDUNEWS.ID-Tepat 5 Februari 2022, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memasuki usia 75 tahun. Usia yang semestinya menandakan kematangan dalam berbagai hal sehingga terus menegaskan keberadaan HMI. Tulisan ini dibuat untuk menanggapi tulisan saudara Ibriansyah Irawan berjudul ‘Katastrofe Krisis Eksistensi HMI’ (Baca : https://edunews.id/literasi/katastrofe-krisis-eksistensi-hmi/) yang juga selaku Pengurus PB HMI. Ada beberapa hal dari tulisan penulis yang menjanggal di pikiran saya.
Pertama, penulis mengatakan bahwa di level komisariat, senior atau alumni dijadikan sebagai ‘bahan jualan’ dalam mensosialisasikan rekrutmen anggota HMI, yang tidak saya pahami saat penulis menganggap hal tersebut ‘wajar’ saja dilakukan. Bagi saya, pencaplokan foto senior atau alumni pada flyer-flyer Training merupakan kekeliruan karena cenderung mengarah pada sikap fanatik dan superioritas figur tertentu.
Menilai wajar fenomena ini, sama halnya membenarkan aktivitas ‘mengemis’ dengan menjual foto senior atau alumni. Cara-cara rekrutmen seperti ini memberi sinyal bahwa kader aktif atau fungsionaris struktur HMI belakangan ini, tidak lagi menarik dan kehilangan nilai jual organisasi.
Bagi saya, menjual, mamasang foto serta terlalu melebih-lebihkan senior atau alumni, justru terkesan mengecilkan HMI. Terlebih kebesaran HMI disandingkan dengan figur yang tidak memiliki rekam jejak yang jelas dan tidak ‘pernah berdarah-darah’ di perkaderan dan perjuangan HMI. Beberapa foto alumni atau senior dipasang karena mereka menjabat posisi politik di pemerintahan karena status sosialnya, bukan karena jasanya terhadap HMI.
Kedua, jika Katastrofe yang dimaksud penulis adalah masalah yang sedang menimpa HMI salah satunya yakni dualisme PB, maka patut dipertanyakan keseriusan PB HMI dalam menyelesaikan persoalan dualisme tersebut. PB HMI versi Affandi Ismail yang diakui secara konstitusi, nyatanya tidak mampu menyelesaikan dualismenya dengan versi Ahmad Latupono.
Padahal penulis sendiri menyadari, dualisme PB HMI berdampak pada energi dan progresivitas organisasi, namun penulis belum mampu menawarkan solusi konkret sebagai salah satu Pengurus PB HMI. Terbukti hingga saat ini, versi Ahmad Latupono masih ada, bahkan juga terkesan lebih eksis dibanding PB HMI asli.
Ketiga, penulis menyebut dualisme PB HMI memudarkan eksistensi HMI dalam ruang sosial. Kekosongan peran HMI dalam masyarakat memang nyata adanya. Mengapa? PB HMI saat ini lebih banyak mengikuti arus wacana pemerintah dan apa yang diberitakan media, dibanding memproduksi wacana sendiri.
Dibanyak persoalan, PB HMI hanya mampu hadir dalam wujud ‘flyer’ yang berisikan foto-foto petinggi PB HMI. Syukur jika PB HMI merespon persoalan bangsa dengan dasar kajian yang jelas. Faktanya, PB HMI hanya ‘asal tampil’ dan ‘asal mengambil sikap’ dan bingung dalam membaca situasi sekitarnya.
Sikap dan keberpihakan PB HMI pun ‘tidak jelas’. PB HMI acap kali berputar pada kalimat ‘mendukung, menolak, mengutuk, mengencam’ atau hanya sekadar memberikan ucapan selamat. PB HMI lebih banyak melakukan ‘pekerjaan’ yang idealnya hanya dilakukan oleh Komisariat. Kondisi ini melahirkan fenomena baru di internal HMI yaitu Pengurus Besar Rasa Komisariat.
Penulis mengatakan, HMI saat ini cenderung tidak solutif serta gugup dalam mengambil sikap. Narasi ini seakan-akan mengonfirmasi ‘ketidaksanggupan’ PB HMI dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang tertuang pada ART pasal 25, terutama dalam memproduksi kebijakan strategis sesuai penjelasan Pedoman Struktur Organisasi HMI. Sebagai kader yang pernah menjadi pengurus komisariat dan cabang, saya tidak pernah mendapati kebijakan strategis PB HMI hingga tulisan ini dibuat, padahal masa kepengurusan PB HMI tersisa kurang lebih 3 minggu lagi, jika mengacu pada kongres sebelumnya pada akhir februari 2020 di kota Kendari. Dengan sisa waktu tersebut, sudah bisa dipastikan Rapat Pleno 3 dan Kongres ke XXXIII akan diundur jauh.
Keempat, penulis juga menyinggung independensi HMI yang harus memihak pada kebenaran. Apa yang dimaksud penulis juga menjadi pertanyaan mendasar untuk PB HMI. Sikap independensi PB HMI justru perlahan sirna. PB HMI lebih banyak mengikuti wacana yang didorong oleh senior atau alumni dan cenderung mengikuti keinginan kelompok tertentu. PB HMI membarter independensinya dengan hal-hal personal untuk memenuhi kepentingan personal pula.
Kelima, ketidakoptimalan PB HMI dalam perkaderan dan perjuangan harus diakui sebagai suatu kemunduran. Semenjak Kongres pada 28 Februari hingga 5 Maret 2020 dengan jumlah 95 Pengurus dari 21 Komisi, PB HMI belum bisa berbuat banyak. Kepengurusan PB HMI nyaris tidak memberikan makna apa-apa terhadap cabang. Akibatnya, kondisi cabang-cabang menjadi lesu dan berdampak terhadap melemahnya komisariat-komisariat sebagai kantong massa dan jantung perkaderan.
PB HMI juga kurang maksimal dalam mengekspansi cabang, seperti yang disinggung penulis. Hal ini disebabkan ketidakoptimalan pengawalan oleh Badko-badko di wilayahnya masing-masing. Bahkan ada pengurus Badko yang turun mengurusi LK 1 dan menjadi steering di rapat-rapat komisariat. Rana kerja yang seharusnya tidak perlu dicampuri Badko sebagai perpanjangan tangan PB HMI.
Cabang-cabang hanya merasakan kehadiran PB pada saat pelantikan, dan acara-acara seremonial. Alhasil cabang-cabang lambat laun kurang mempercayai PB HMI. Kekuatan dan pengaruh PB HMI pun perlahan hilang. Tidak heran, instruksi-instruksi yang dikeluarkan PB HMI tidak dijalankan oleh cabang-cabang. Jika PB HMI tidak segera berubah dan kembali pada konstitusi HMI, maka akan tiba masa dimana keberadaan PB HMI tidak lagi dianggap oleh cabang-cabang.
Tulisan Ibriansyah Irawan pada akhirnya menyadarkan saya dan mengingatkan kita semua sebagai kader, bahwa begitu banyak pekerjaan rumah yang mesti segera dievaluasi dan diselesaikan oleh PB HMI.
Semoga tulisan sederhana ini dapat menyadarkan penulis dan PB HMI.
Dibawah tulisan Ibriansyah Irawan :
Bubarkan HMI, Bubarkan HMI, Bubarkan HMI” Teriakan Soekarno dalam pidatonya pada kongres pertama salah satu organisasi mahasiswa pada saat itu. Teriakan ini bukan tidak memiliki alas fikir yang jelas. Soekarno menganggap bahwa Himpunan Mahasiswa Islam sebagai organisasi anti revolusioner dan reaksioner. Ia juga menganggap HMI sebagai tukang kritik dan liberal yang dimungkinkan akan membawa budaya kebarat-baratan, serta menuding HMI sebagai anak Partai Masyumi. Tapi entah mengapa bukan HMI yang bubar, melainkan Soekarno yang lengser dari jabatannya. Keadaan ini menjadi bukti sejarah bahwa di masa lalu HMI memiliki pendirian yang jelas kendati harus bersebrangan dengan pemerintah. Walaupun ada upaya beberapa tokoh besar di Indonesia menginginkan agar HMI dibubarkan saja, termasuk tokoh besar PKI yakni DN Aidit.
Keberadaan HMI sebagai laboratorium pengetahuan telah melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang memberikan kontribusi besar terhadap bangsa dan negara. Hal menjadikan eksistensinya semakin dinamis. Memiliki senior atau alumni yang telah menjabati posisi strategis, sesekali menjadi jualan anak-anak HMI dalam melakukan sosialisasi perekrutan anggota baru ditingkatan Komisariat. Sebuah kejadian yang wajar dan memang terhitung sebanyak 10 0rang alumni yang menjabat sebagai Menteri di Kabinet Indonesia Maju dibawah kepemimpinan Jokowi-Maaruf.
Salah satu isu populer yang melekat dalam tubuh HMI adalah dualisme kepengurusan, terhitung sejak tahun 2020-2022 ada empat struktur kepengurusan Pengurus besar, salah satunya adalah dualisme tertua yang dimulai sejak tahun 1986. Semua berjalan sesuai misinya masing-masing, namun apa pentingnya hingga harus terpecah menjadi empat kepengurusan pengurus besar? ini tentu akan menjadi katastrofe dalam tubuh organisasi yang berefek pada minimnya energi serta progresivitas organisasi. Sementara dalam forum pengambilan keputuan tertinggi (Kongres) telah tersedia fasilitas untuk mengurai semua masalah yang ada dalam internal dan harusnya energi kepengurusan tidak lagi habis terkuras untuk mengonsolidasikan perpecahan pasca ditetapkan pimpinan yang baru, lahirnya dualisme pada setiap kali terlaksanakannya kongres berakibat pada krisisnya eksistensi HMI dalam ruang sosial eksternal.
Kesenjangan sosial dan polemik kebangsaan belakangan ini benar-benar membutuhkan pendekatan objektifikasi yang kritis, sebab nampaknya kekuasaan sangat percaya diri dalam menjalankan segala kebijakannya kendati harus membabat habis seluruh kehendak rakyat. Hal ini ditandai dengan beberapa kebijakan yang terkesan dipaksakan dan melindungi kepentingan kekuasaan. Misalnya, penetapan UU NO 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang cenderung menciderai independensi KPK, hadirnya UU Omnibus Law yang dianggap banyak membangun kompromi dengan pemilik modal, mengeksploitasi rakyat kecil hingga melanggengkan oligarki dan masih banyak polemik lainnya mengundang perlawanan dari rakyat namun selalu dimenangkan oleh kekuasaan.
Kepemilikan independensi mengafirmasi kebebasan HMI dalam bertindak, Independensi tidak dimaksudkan bersikap netral dan berdiam diri, tapi independensi harus memosisikan diri untuk berpihak pada kebenaran yang berdasar dalam hal ini berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Menjadi organisasi yang tidak terikat pada partai atau kekuasaan harusnya mejadi kesempatan untuk mendorong gagasan moral dan pikiran kritis, memitigasi seluruh masalah sosial kendati dalam tekanan kekuasaan. Bukan justru berdiam diri dan terjebak pada kesadaran semi intransitif seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire, yakni ketika entitas kelompok gagal dalam mengobjektifikasi fakta namun sebetulnya menyadari ada banyak masalah.
Menilai eksistensi HMI harusnya dilihat dari dua aspek, pertama sejauh mana HMI memassifkan perkaderan ditingkat komisariat, mengekspansi cabang dan memantaskan intelektual setiap kader. Kedua mengafirmasi keberpihakan dalam ruang sosial sebagai manisfestasi perjuangan di pasal 8 Konstitusi HMI dengan mengedepankan independensi sebagai satu sifat mutlak. ALLAH SWT berfirman “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 104) ayat ini menjadi salah satu nilai yang harus diterjemahkan HMI mengafirmasi perjuangannya dalam setiap dimensi termasuk sikap sosial-politiknya, bukan justru menjadi organisasi yang syarat kepentingan pesanan. Maka dengan itu HMI bukanlah apa-apa tanpa melaksanakan perkaderan dan perjuangan.
embangun jejaring untuk menguatkan solidariatas memang penting, termasuk kepada senior yang telah memiliki jabatan. Tapi akan menjadi satu tindakan disorientasi pada kader ketika harus berkompromi dengan pola kekuasaan yang dianggap menindas dan melahirkan kesenjangan sosial. Apalagi jika hal demikian tidak terbaca sebagai satu masalah karena tertutupi oleh lidah senior atau alumni, hal ini berimplikasi pada krisisnya eksistensi HMI pada rana sosial dan mengabaikan satu system nilai yang telah dijaga selama ini. Seharusnya kader dan alumni menegaskan keberpihakannya terhadap rakyat banyak sesuai yang diajarkan oleh manhaj Gerakan. Jendral Sudirman pernah mengemukakan bahwa “HMI bukan sekedar Himpunan Mahasiswa Islam tetapi juga Harapan masyarakat Indonesia” jika disorientasi itu terjadi maka HMI tak ubahnya sebagai Himpunan Mahasiswa Istana.
Serangkaian keadaan ini menggambarkan posisi dan peran strategis HMI perlu dibenahi. Pada ruang sosial, HMI harus mampu mengimbangi sofistikasi kuasa dalam memainkan instrumen kebijakan. Bukan justru terjebak dalam pola kolosal dimainkan oleh kekuasaan melalui alumni atau senior yang tidak memikirkan organisasi wajib terlibat dalam membangun peradaban. HMI harus mampu keluar dari konflik internal kepengurusan yang tidak produktif secara keseluruhan. Saat ini ada banyak gerakan mahasiswa yang tumbuh sekedar menghimpun basis massa namun pertumbuhan gerakan itu tidak memberikan dampak yang efektif untuk sebuah perubahan, argumentasi Foucolt tentang relasi kuasa belakangan ini cukup terasa saat adanya disorientasi gerakan kelompok intelektual atau kelompok sosial. Maka seluruh sikap benar-benar lahir dari rahim suci pikiran HMI, bukan sekedar menjalankan petunjuk senior, mendekatkan diri pada kekuasaan, apalagi sekedar takut tak dapat bagian APBD atau APBN untuk menyukseskan kegiatan ceremonial semata.
Pada usia 75 Tahun HMI hari ini, saya meyakini masih ada kesempatan untuk berbenah, merevitaslisasi kembali nilai-nilai keislaman dan kebangsaan yang diajarkan oleh khittah perjuangan. HMI harus mendorong seluruh kadernya agar sampai pada titik kesadaran organik seperti yang dikemukakan Emil Durkheim. Sebuah kesadaran yang berpotensi meghadirkan perubahan sosial karena pengulturasiannya yang lebih bersifat mendalam. Mengedepankan kepentingan rakyat sebagai kepentingan utama dan mengangkat martabat organisasi sebagai organisasi yang independen dan memiliki pendirian yang terukur. Saya masih meyakini bahwa HMI tetaplah menjadi anak kandung rakyat sepanjang masih berdiri diatas tujuan HMI sejak awal didirikannya. Selamat Milad HMI ke 75 Tahun. Yakin Usaha Sampai.
Ibriansyah Irawan, Ketua Umum HMI Cabang Palopo 2018-2019, Anggota Komisi Politik PB HMI MPO 2020-2022
Komentar
Posting Komentar