ATUM INSTITUTE MEDIA : Di Kampus, Prof. Yusril Ihza Mahendra Sebut Kedudukan MPR Saat Ini Sudah Tidak Sejalan Dengan Pancasila Sila Ke - 4
- Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia sekaligus anggota Dewan Pembina UBB (Universitas Bangka Belitung) Prof Dr Yusril Ihza Mahendra mengatakan, perubahan kedudukan MPR akibat amandemen UUD 45 telah menyebabkan bangsa ini kehilangan idea dasar bernegara, yang digali para pendiri bangsa dari tradisi asli masyarakat suku yang bersumber adat dan ajaran Islam.
Hal tersebut disampaikan Yusril dalam orasi ilmiahnya pada Dies Natalis ke-17 Universitas Bangka Belitung (UBB) di Ruang Rapat Terbuka UBB, Rabu, (12/4/2023).
Menurutnya, kedudukan MPR saat ini berubah sangat fundamental dan berbeda jauh dengan negara yang diprokmasikan pada tahun 1945 oleh konsep MPR.
"Sebuah negara, semestinya digagas berdasar idea dasar bernegara yang digali dari khazanah pemikiran bangsanya sendiri, bukan meng-copy idea dasar dari bangsa-bangsa lain. Dengan demikian, pelaksanaan dan perkembangan negara akan sejalan dengan pemikiran dan perasaan rakyatnya sendiri. Rakyat akan merasakan bahwa mereka tinggal di rumahnya sendiri, yang sejalan dengan cita, pemikiran dan perasaannya," jelas Yusril, Rabu (14/4/2023).
Yusril mengutip pandangan Prof Soepomo bahwa konsep bernegara RI yang menempatkan MPR sebagai lembaga yang supreme, berasal dari praktik penyelenggaraan kehidupan masyarakat desa.
Kekuasaan tertinggi di desa terletak pada lembaga musyawarah desa.
"Orang-orang terpandang di desa itulah yang bermusyawarat memutuskan segala hal yang menyangkut desa itu dengan cara mufakat. Ini menggambarkan bahwa sejatinya kita tidak melaksanakan demokrasi secara langsung sebagaimana tercermin dalam sila ke-4 Pancasila. Kini rakyat memilih presiden dan wakil presiden secara langsung tanpa melalui musyawarah MPR lagi," imbuhnya.
Yusril menilai, kedudukan MPR sudah tidak sejalan dengan sila kerakyatan sebagaimana disebutkan dalam sila ke-4 Pancasila dan tidak lagi mencerminkan idea dasar bernegara yang asli Indonesia.
" MPR yang asli terdiri atas anggota DPR, ditambah utusan daerah-daerah dan golongan-golongan, sehingga semua unsur bangsa tercermin dalam lembaga itu. Kini utusan daerah dan golongan dihapuskan. MPR terdiri atas DPR dan DPD yang semuanya dipilih melalui Pemilu," kata Yusril.
Padahal di masa yang lalu, lanjutnya, ketetapan-ketetapan MPR terbukti mampu mengatasi kelemahan UUD dan mengatasi krisis konstitusional yang terjadi.
"UUD 45 pascaamandemen telah mengatur bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden tiap lima tahun sekali. Bagaimanq jika Pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu karena adanya bencana alam yang luar biasa, peperangan atau pemberontakan, merebaknya pandemi serta krisis ekonomi sehingga tidak ada dana untuk menyelenggarkan Pemilu," bebernya.
Yusril berpendapat, MPR-lah semestinya yang dapat menunda Pemilu berdasarkan alasan-alasan di atas dan melakukan perpanjangan jabatan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPRD, DPD dan MPR serta menteri kabinet sampai jangka waktu tertentu.
Namun semua itu hanya dapat dilakukan MPR, jika lembaga itu berwenang menerbitkan ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan (regeling).
"Keberadaan ketetapan MPR sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang berada di antara undang-undang dasar dengan undang-undang dalam hirarki hukum kita, telah disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun keberadaannya dibatasi oleh penjelasan pasal itu, hanya pada Ketetapan-Ketetapan MPR sebagaimana disebutkan dalam TAP MPR No I/ MPR/2003 saja," jelasnya.
Dengan demikian, kata Yusril, MPR akan menguat kembali kedudukannya dengan kewenangan membuat ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis konstitusional. (Bangkapos.com/Sela Agustika)
Komentar
Posting Komentar